Wuthering Waves dan Kekuatan Cerita Genshin Impact
Ada alasan banyak game gacha mencoba menarik kesuksesan Genshin.
Wuthering Waves adalah game gacha yang sepenuhnya biasa saja—tidak memukau, tetapi juga tidak buruk. Alih-alih akan menjadi ‘pesaing’ bagi Mihoyo, tanda-tanda yang terlihat menunjukkan bahwa game gacha besutan Kuro Games ini adalah usaha untuk ikut ‘merasakan’ popularitas dan keberhasilan dari Genshin Impact, yang berhasil menyandang status sebagai mobage pertama dengan fokus audiens internasional.
Jadi, dari tahap pertama permainan ini, apa yang bisa dikatakan soal Wuthering Waves?
Dua Jam Pertama
Sulit untuk mengatakan bahwa Wuthering Waves tidak bisa dibandingkan dengan Genshin Impact, karena dari premis cerita sampai dengan user interface dari game tersebut hampir persis mengikuti Genshin.
Bahkan, hal pertama yang kuperhatikan adalah bagaimana kawasan tempat Rover bangun hingga sampai di tebing tempat melihat Jinzhou agaknya hampir persis dengan kawasan tempat Aether\Lumine bangun sampai tiba di Starfell Lake, tempat mereka bisa melihat Mondstadt. Selain itu, premis cerita juga cenderung mengikuti alur yang mirip: tokoh utama yang tidak tahu di mana ia berada dan mengalami amnesia, kini harus menghadapi nasib kota yang sedang berada dalam bahaya, dengan tanda-tanda bahwa ia memiliki kekuatan ‘besar’ atau ‘rahasia’ yang mampu menyelamatkan kota, serta kekuatan ini berkaitan dari ‘masa lalu kelam’ yang dimiliki kota tersebut.
Tetapi hal berbeda yang mencolok dari WuWa tentu saja datang dari mekanik gameplay-nya, yang meskipun cukup familiar dengan para pemain Genshin—kombinasi elemen, relic, dan cara upgrade senjata—tetapi juga cukup ‘berbeda’, misal, soal counter dan summon, atau ‘paksaan’ untuk melakukan dodge.
Cara untuk mendapatkan summon juga meminta pemain untuk mengeksplorasi peta. Sistem ini, Data Bank, justru menjadi sistem yang paling krusial dalam Wuthering Waves, dan cukup memakan waktu. Pemain harus berkeliling peta untuk mengalahkan semua lawan yang ada, setidaknya sampai Data Bank meraih level 10 dan par apemain bisa mendapatkan summon melalui cara lain. Sistem ini lebih mengingatkan kita pada game-game lama, yang menekankan pentingnya mengetahui semua aspek yang ada di dalam game sebelum beranjak ke fase lebih lanjut.
Di luar urusan mekanik ini, ada satu faktor penting yang tidak bisa dikatakan jelek, tetapi menunjukkan betapa sulitnya untuk membangun narasi cerita yang bagus dalam format mobage. Wuthering Waves, alih-alih dikatakan kurang atau jelek, justru dapat dibilang menonjolkan keahlian mobage lain, seperti Genshin Impact atau Honkai: Star Rail, dalam bercerita. Berikut penjelasannya.
Membandingkan Cerita Wuthering Waves Dengan Salah Satu Worldbuilding Terbaik Dalam Sejarah Game Gacha
Selama permainan berlangsung, hal yang paling mencolok justru datang dari alur cerita. Tidak ada yang salah dengan eksposisi, atau dalam bahasa yang lebih mudah, menjelaskan segala konsep yang ada di dalam universe Wuthering Waves secara langsung. Misalnya, Chixia dan Yangyang menjelaskan pada kita soal Tacet Discord dan Jinzhou, sedangkan Liyan menjelaskan ke kita soal sejarah kota.
Tetapi memang dari Act I sampai dengan Act VI, Wuthering Waves lebih cenderung menerapkan ‘tell, don’t show’ terkait dengan kisah ataupun konsep yang ada di dalam dunia mereka, dan kalaupun mereka menunjukkannya melalui unsur-unsur yang ada di dalam kota Jinzhou, elemen-elemennya cenderung disampaikan secara canggung. Setelah mengikuti alur cerita, aku tahu kalau ada masa lalu di dunia ini yang melibatkan sang Sentinel, Long, maupun si tokoh utama, Rover. Aku juga tahu kalau semua ini ada urusannya dengan bagaimana politik kota bekerja, begitu juga dengan faksi-faksi seperti Fractsidus atau Black Shores. Aku tahu ada yang salah dengan tatanan sosial di dalam dunia ini, yang dijelaskan secara sangat aneh oleh Scar ketika kita mendatangi Qichi Village yang terkena Tacet Discord.
Namun, akibat dari cara cerita disusun, semua ini terasa ‘biasa saja’. Bukan ‘buruk’, tetapi ‘biasa saja’. Alhasil, build-up besar-besaran sebelum menyelamatkan kota dari ancaman bangkitnya Threnodian baru juga terasa biasa saja, belum lagi cutscene yang terlalu banyak dan terlalu cepat dipadukan dengan jump-cut yang agak canggung. Padahal, babak terakhir dari cerita bagian pertama ini memiliki stake yang tinggi. Contohnya soal Jinshi yang bertanggungjawab pada kotanya, atau Liyan yang selalu dikelilingi oleh suara-suara jenderal pendahulunya yang dianggap ‘gagal’. Semua ini tidak meninggalkan impresi mendalam pada pemain
Tak lama setelah selesai menamatkan kisah Wuthering Waves, aku melanjutkan cerita utama Honkai: Star Rail, dimulai ketika Aventurine berhasil dikalahkan sampai dengan pertarungan akbar melawan Sunday, dan Ena. ‘Terbanting’ adalah cara terbaik untuk menjelaskan pengalamanku. WuWa tidak menunjukkan betapa buruknya cerita mereka, tetapi menyoroti betapa bagusnya worldbuilding dari tim penulis Mihoyo. Semua unsur cerita dipadukan, mulai dari karakter, dialog NPC, bahkan animasi idle dari Pepeshi yang mabuk di pinggir jalan. Misha, Gallagher, memetic device ‘Something Unto Death’, Robin dan Sunday, Ena dan Xipe, Clockie dan Hanu, semuanya meskipun dijelaskan dengan begitu panjang, tetapi semuanya meninggalkan impresi begitu mendalam bagi para pemainnya. Para penggemar banyak memproduksi fanwork atas momen-momen kecil, seperti saat Misha mengatakan bahwa ‘Sleepie’ adalah ‘peliharaan Gallagher’, atau kebersamaan trio lama Trailblazer bersama Pom-Pom di atas Astral Express.
Tetapi tidak tepat membandingkan Wuthering Waves dengan Honkai: Star Rail. Lebih tepat membandingkannya dengan babak pertama Genshin Impact, dimulai ketika Aether\Lumine terbangun hingga kalahnya Dvalin di Stormterror Lair.
Lagi-lagi, Wuthering Waves justru menggarisbawahi kemampuan luar biasa dari Mihoyo dalam worldbuilding dan plot-building. Di kemudian hari, bisa juga dikatakan bahwa faktor ini menjadi landasan dari keberhasilan total mereka di dunia video game, menarik puluhan juta pemain yang terpesona dan mendedeikasikan hidup mereka untuk menyebarluaskan cerita-cerita di dalam Genshin.
Sebagai contoh, di fase-fase awal yang mirip ketika kita pertama kali mendatangi Mondstadt, kita tidak tahu banyak soal dunia di sekeliling kita. Kita tidak tahu apa-apa soal siapa sebenarnya Fatui, begitu juga siapa sebenarnya Abyss Order. Yang kita tahu hanyalah bahwa Mondstadt sedang berada dalam bahaya dari serangan naga bernama Stormterror. Kita juga tidak betemu dengan banyak orang, hanya segelintir ‘pejabat’ seperti Kepala Kavaleri, Kaeya, dan Kepala Perpustakaan, Lisa.
Yang paling penting, semua konsep dan alur cerita di sekeliling kita juga tidak dijelaskan kepada kita, tetapi ditunjukkan. Sampai akhir Act I, sedikit sekali pemahaman Aether\Lumine soal Teyvat. Amber tidak menjelaskan lengkap siapa itu Jean dan bagaimana Knight of Favonius bekerja, dan Diluc tidak menjelaskan ke kita secara detail soal revolusi yang melibatkan Decarabian. Bandingkan ini dengan Chixi yang secara eksplisit menjelaskan kondisi kepemimpinan Jinzhou dan Liyan yang secara lengkap menjelaskan detail pertarungan Battle Beneath the Crescent pada tiga tahun yang lalu.
Babak pertama dari semua game gacha yang bersifat live service memang sebaiknya begini: tidak menjelaskan banyak hal dan ‘menyiapkan’ pemain untuk tetap terjaga menunggu konten-konten berikutnya. Wuthering Waves, di sisi lain, agaknya tidak sabar untuk memberikan para pemainnya semua informasi yang mereka butuhkan, mulai dari alur cerita, kisah karakter, eksplorasi peta, bahkan konten-konten seperti spiral abyss sekalipun. Sekali lagi, ini bukan berarti WuWa memiliki banyak kekurangan—melainkan Genshin memiliki banyak kelebihan.
Bagaimana Kuro Games terburu-buru memberi tahu semua informasi soal in-game lore juga bertabrakan dengan usaha mereka untuk ‘mengadaptasi’ konsep cerita Genshin. Pada akhir pertarungan pamungkas melawan Threcidus, Rover sudah mengetahui lengkap kemungkinan siapa ia, di mana ia, dan apa saja tugas, kewajiban, serta kekuatannya. Ia lebih mirip Vertin dari Reverse:1999 atau Ritsuka Fujimaru dari Fate\Grand Order dari segi protagonis sebagai ‘karakter’ yang ‘menjalani tugas tertentu’. Rover menjadi berbeda dengan protagonis ‘amnesia’ lainnya, sebut saja Doctor di Arknights, Sensei di Blue Archive, dan Aether\Lumine di Genshin.
Alhasil, bermain WuWa juga tidak memberikan kesan mendalam soal cerita dan karakter-karakternya, yang sebenarnya juga cukup bagus dan menarik. Beberapa contoh bagus adalah cerita yang melibatkan Lingyang, atau Jiyan. Tetapi di sisi lain, aku masih bisa menceritakan story quest Jean dari empat tahun yang lalu yang, dalam waktu yang sangat singkat, mampu menjelaskan apa yang terjadi di Mondstadt, mulai dari urusan Knight of Favonius hingga ‘masyarakat egaliter’ yang mereka tumbuhkan.
Singkatnya: Wuthering Waves adalah game yang berusaha untuk mengikuti kesuksesan Genshin, tetapi tentu saja tidak berutjuan untuk menyamai atau menyaingi salah satu game paling sukses dalam beberapa tahun terakhir tersebut. Kita mendapatkan game yang cukup oke, dengan cerita yang cukup solid dan karkater yang menarik, begitu juga dengan mekanik gameplay yang cukup unik dan seru, tetapi tent usaja tidak lebih dari itu. Aku kira, Kuro Games juga sadar mereka tidak sedang membuat pesaing Genshin, dan mereka tahu mereka berada dalam level yang berbeda dari pesaing mereka tersebut.