I. Mengajukan Latar Belakang Soal Zaman Event ‘Jejepangan’ Yang Begitu Menyedihkan
Di masa yang telah lewat, acara kumpul fandom dari dulu banyak didasari prinsip ‘yang penting ada’, diselingi oleh acara-acara mahal yang dibanderol ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk tiketnya
Dua tipe acara ini sama-sama kelabakan, sering bangkrut, banyak polemik—sering berita lewat soal panitia yang membawa uang kabur atau tak tahu apa yang mereka kerjakan.
Setiap acara-acara ini tidak akan aku sebutkan dengan gamblang, hanya pola-polanya saja. Terdapat acara-acara yang menggantungkan diri pada semangat mahasiswa program studi satu angkatan, terdapat acara-acara lain yang menggantungkan diri pada sponsor dana kampus, dan terdapat acara-acara lain lagi yang menjadi sarana event organizer malu-malu mencoba venue kecil di Ibukota. Ada juga acara-acara dengan ambisi besar yang dengan cepat sadar kalau kancah ‘jejepangan’—aku tidak suka istilah ini—lokal belum matang.
Apapun alasannya, tidak ada satupun dari usaha-usaha ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang menopang fandom, dan tidak bisa juga. Masak, kita menggantungkan beban sosialisasi dan rasa komunitas ke sekumpulan mahasiswa?
Dengan kata lain, mereka yang membuat acara untuk fandom dan mereka yang membuat acara untuk profit sama-sama kecewa.
II. Mengajukan Argumen Bahwa Comic Frontier Adalah Ikhtiar Nirlaba
Di tengah-tengah kedua tipe acara itu adalah ikhtiar serius bernama Comic Frontier.
Dibentuk dengan niatan untuk mendirikan suatu pagelaran jual-beli fanworks—seperti Comiket—Comifuro merupakan acara dari dan untuk fans. Harganya selalu proporsional dengan fasilitas, dan komersialisasi dibatasi minim sekali, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dengan resiko menulis sebagai ‘orang luar’ yang tak punya akses ordal bagi informasi-informasi eksklusif—mereka yang punya, toh, tak menggunakannya untuk menuliskan artikel yang berguna—aku akan menyatakan klaim ini dengan hati hati, tetapi agaknya pagelaran ini bersifat nirlaba. Tidak ada pihak ketiga, tidak ada event organizer, tidak ada kewajiban untuk membeli minuman manis yang mensponsori acara. Ini kontras dengan pola pembuatan acara yang aku tahu saat itu: antara komunitas fans yang kelimpungan mendirikan suatu acara yang bertahan lama, atau pemodal yang frustrasi karena tak mendapatkan return of investment seperti seharusnya.
Mengapa aku berani menyatakan bahwa pagelaran ini bersifat nirlaba, atau setidak-tidaknya memiliki komersialisasi yang sangat minim, dibuat untuk fandom dan bukan untuk pemodal? Sebab kenaikan fasilitas jauh melaju pesat dibandingkan kenaikan tarif.
Mereka yang sudah mendatangi SMESCO atau tempat yang lebih jelek lagi mungkin bisa menambahi poin ini, tetapi mari mengambil contoh yang dekat. Balai Kartini, venue hajatan milik tentara di belakang Kedutaan Besar Belanda, berganti menjadi ICE BSD, tempat yang biasa memamerkan mobil dan truk edisi terbaru, juga mobil F1. Pertama-tama satu sampai dua hall, lalu tiga, lalu kini enam hall. Tarif tiket dan meja yang begitu-begitu saja menutupi fakta bahwa harga sewa ICE BSD, venue acara terbesar se-Indonesia, berpuluh-puluh kali lipat lebih mahal daripada Balai Kartini, yang bahkan bukan venue acara terbesar di Jalan Gatot Subroto.
Tak hanya soal itu, tetapi juga prinsip satu tiket untuk semuanya. Comic Market, diskusi panel, odottemita, photoshoot kecil-kecilan* untuk cosplay, karaoke, shuttle bus gratis, semuanya dalam satu tiket. Akses terpisah hanya untuk satuan acara yang diselenggarakan bukan oleh Comifuro, hanya menumpang tempat di Comifuro. Selebihnya, tidak ada biaya ini dan itu. Rp75.000, di muka, gelang tiket, selesai.
Di dalam acara, tidak ada sponsor resmi untuk makanan dan minuman. Harga makan dan minum yang luar biasa di dalam acara itu disediakan—sebagai kewajiban acara—oleh ICE. Tapi toh pada umumnya anda bisa membawa minum sendiri, atau kalau urat malunya kuat, bawa makan sendiri. Aku akan menggunakan ‘pengetahuan yang tahu-tahu aja’ untuk menyatakan di sini bahwa pengalaman orang banyak yang kuketahui membawa mulai dari botol air minum hingga gentong nasi, tidak diganggu oleh panitia acara, asal jangan mengganggu orang lain.
Tetapi cara paling mudah untuk melihat unsur nirlaba dari Comifuro ada di floorplan. Perhatikan berapa banyak ruang untuk booth official dan komersial, seperti penerbit, penjual figurin, game developer besar, toko cat air. Per CFXX, mereka semua menempati ruangan kecil, dan pada beberapa edisi lalu bahkan tak disediakan ruang sama sekali. Mayoritas dari hall-hall sebesar hangar bandara itu diisi oleh lautan kreator kecil, para pelukis, ilustrator, printingan kaos kecil-kecilan, mahasiswa. Mereka yang datang nomor satu sebagai fans, nomor dua sebagai kreator, dan nomor sekian sebagai pedagang, mereka yang sebagian besar tak punya target KPI atau strategi market funneling. Jika ada yang tak puas dengan meja biasa atau merasa dirinya sudah semi-profesional, telah disediakan ruang-ruang partisi yang lebih mahal, tapi pada prinsipnya mereka pun sama: mereka membayar dengan biaya yang begitu-begitu saja, tak memberikan kerjasama sponsor yang menguntungkan, tak membayar sebanyak korporasi-korporasi raksasa.
Kalau ini belum cukup untuk meyakinkanmu kalau Comifuro merupakan ikhtiar nirlaba, maka kita beralih ke pengalaman kreator. Mereka yang telah beroperasi layaknya suatu perusahaan maupun mereka yang beroperasi layaknya sekumpulan mahasiswa sama-sama mahfum bahwa Comic Frontier bukan tempat paling ideal untuk berniaga. Siapapun bisa untung besar atau rugi besar, entah pemula ataupun kawakan. Pertama dan utama, secara desain, Comifuro menyambungkan mereka yang bisa membuat fanwork dengan mereka yang menginginkan fanwork, dan fungsi sentralnya adalah bagaimana fandom ini bisa saling bertautan, dengan karya seni, komik atau ganci* *
Dengan kesadaran ini, para ilustrator Comic Frontier datang dengan keinginan menampilkan apapun yang mereka ingin tampilkan: poster film lawas Akira Kurosawa, ganci game indie dari Venezuela, fanart dari manga yang tak terlalu populer (saat aku berkeliling CFXX, salah satu booth menjual fanart dari judul The Girl From the Other Side: Siúil, a Rún. Ketika aku menunjuk poster itu, ia berkata: “Lho, ada yang mau beli poster itu?” Ini jelas bukan aktifitas memaksimalkan profit: untuk apa menjual barang yang penjualnya sudah tahu tidak akan banyak laku?). Tidak ada insentif untuk menjual barang-barang populer kecuali atas dasar keinginan pribadi. Acara berputar sebagaimana semestinya, sebagai tempat bertukar fanwork, baik itu dijual pun hanya untuk showcasing. Perputaran uang di dalamnya adalah bonus.
III. Membayangkan Skenario Mimpi Buruk Jika Comifuro Menjadi Acara Komersial
Tidak sulit untuk membayangkan acara fandom berorientasi profit, tinggal lakukan saja apa yang tidak dilakukan oleh Comifuro.
Kesimpulannya mudah: kalau Comifuro merupakan acara for-profit, maka ia tidak akan didesain seperti ini. Pojok-pojok yang bisa dikomersialkan tentu akan dikomersialkan, dan sistem-sistem ekstraksi uang dari pojok-pojok ruangan akan diterapkan.
Mari sejenak membayangkannya. Misal: ruang kreator kecil akan digerogoti oleh ruang-ruang korporat, para mahasiswa akan mendapatkan jatah ruang yang lebih sedikit daripada toko cat air. Lagian, bagi otak bisnis, untuk apa sewa venue mahal jika ruang yang dibagikan terhitung ‘hemat’ dan ‘ramah pemula’? Lebih baik diisi sebanyak mungkin booth official, kan? Atau solusi lain: harga booth berlipat ganda, yang pasti akan tetap ludes karena sekarang dengan harga demikian pun banyak sekali circle yang tak terpilih masuk. Deposit diterapkan dan kenaikan biaya mendadak disahkan. Ribet, tapi tinggal berkilah “ada harga ada pelayanan”, kan?
Atau soal tiket, yang bisa dipompa hingga ratusan ribu rupiah, yang pasti tetap akan dibeli karena ada pasarnya. Beberapa bisikan seliweran lewat—dan juga sentimen kalangan tertentu yang masih malu mengungkapkannya—bahwa suatu barrier to entry diperlukan untuk memisahkan mereka yang ‘mampu’ dan ‘tidak mampu’. Tetapi cara menyampaikannya tidak demikian, ditutup dengan kata-kata seperti “pentingnya gatekeeping” atau “agar supaya lebih tertib dan teratur”. Bicara soal gatekeeping tiket, mengapa tidak menjual tiket VIP bagi mereka yang ingin privilege lebih? Atau menjual tiket khusus bagi mereka yang ingin mengakses ranah cosplay, atau panel, atau karaoke?
Lalu kini coba membayangkan terdapat sponsor minuman manis resmi, makanan resmi, mungkin juga partner finansial resmi. Tidak boleh ada minuman dan makanan di luar sponsor yang dijajakan, dan segala transaksi harus menggunakan partner bank resmi tersebut. Omong-omong, praktik ini sudah mulai ilegal di luar, karena meminum air merupakan kebutuhan paling dasar dari fisik manusia yang tidak bisa digantikan dengan botol teh manis kemahalan. Di Indonesia, tentu saja, praktiknya masih langgeng, atau bahkan baru mulai.
Mungkin juga staf akan dipangkas. Menyerahkan tugas kepada ‘orang-orang profesional’, event organizer karir, mereka yang tak tahu-menahu soal fandom, tetapi beranggapan bahwa cara acara fandom beroperasi merupakan suatu peluang yang disayangkan, karena ada arena-arena ekstraksi uang yang tidak dieksploitasi. Berharap bahwa pengalaman pengunjung, pertemuan fans dengan idola, dan hal-hal menyenangkan lainnya akan menutupi akal-akalan panitia.
Ini semua bukan skenario fiksi. Hampir semua hal di atas adalah hal yang lazim terjadi di acara kreator/fandom di Indonesia, mau itu dari Jepang atau Korea atau dari tempat lain. Sebagian contoh di atas adalah pengalaman pribadi, sisanya pengalaman orang lain yang mampu diverifikasi, tetapi semuanya terlalu sering terjadi untuk dianggap hanya sebagai anekdot.
Di salah satu acara fandom besar di bilangan ibukota, inilah yang terjadi: korporat dengan jualan barang official mereka memenuhi hampir seluruh venue, sedangkan kreator kecil tersungkur di kawasan yang lebih sempit, lebih panas, lebih mampat—dan dengan harga meja yang jauh lebih mahal! Dan tentu saja mereka memiliki partner minum resmi, dan partner-partner resmi lainnya, dan tentu saja tidak banyak hal yang bisa dilakukan tanpa uang dengan jumlah yang tak sedikit.
Menggaet bank resmi juga sering terjadi di berbagai acara, meskipun biasanya bukan acara fandom. Dengan sponsor yang begitu menguntungkan, dari Bank, gampang saja untuk mengatakan “kalau ingin bertransaksi apa saja di sini, harus menggunakan rekening ini”. Setelah itu tinggal mengucapkan mantra, “kalau tidak mau, tidak usah masuk”.
Begitu juga mantra yang sama bagi mereka yang sebenarnya bukan partisipan fandom tapi merasa bahwa mereka bisa meraup keuntungan dari menggaet fandom. Event cosplaybait marak terjadi di berbagai kota, kecil atau besar, dari orang-orang yang tak cuma tak tahu apa itu cosplay tapi merasa bahwa mereka adalah masyarakat kelas kedua, tapi menginginkan keramaian dan perputaran uang yang dibawa cosplay.* * * Kalau anda ingin tahu betapa banyaknya mudarat acara fandom diurus non-fandom, silahkan tanyakan teman anda yang penggemar K-Pop, soal bagaimana rekam jejak non-fandom dalam menyelenggarakan dan mengelola konser K-Pop.
Serta contoh-contoh lainnya, yang terlalu banyak jika dimampatkan semua di sini. Agar supaya ruang fandom tidak mengalami gejala-gejala overkomersialisasi dan pemerasan profit, harus ada upaya aktif dan sadar. Dan Comifuro sangat aktif dalam usahanya.
IV. Mengajukan Pendapat Bahwa Komersialisasi Akan Perlahan Menghancurkan Ruang Fandom
Benang merah dari semua gejala-gejala ini adalah kegiatan memaksimalkan profit.
Biasanya, tiap kalimat ini diutarakan, beberapa pihak menggerutu sambil mengomel kalau semua kegiatan manusia itu memaksimalkan profit, kalau uang itu berguna, kalau mereka butuh makan. Entah kenapa, orang-orang ini pura-pura tidak sanggup membedakan kalimat “profit bukanlah satu-satunya tujuan kegiatan manusia” dengan “profit bukan tujuan kegiatan manusia”. Toh, Comifuro berjalan secara nirlaba. Uang yang mereka raup banyak, sungguh banyak sekali, pun mereka juga “bukan kegiatan amal”—kalimat favorit orang-orang tamak–tetapi uang itu mereka putar kembali dari dan ke komunitas dan keberadaannya bukan the end to all end, satu-satunya fungsi kegiatan. Dan aku hakulyakin bahwa panitia CF, dari pentolan sampai staf, semuanya bisa makan.
Comifuro tidak punya pemodal, tidak punya kewajiban ke ‘investor’, tidak berniat ekspansi. Suatu model kegiatan yang amat langka adanya hari-hari ini. Kewajiban mereka, kalaupun ada, adalah untuk menyediakan pengalaman sebaik mungkin bagi kita, para pengunjung, dan perpanjangannya, bagi fandom itu sendiri.
Dan dalam ikhtiar untuk memberikan pengalaman sebaik mungkin itu, Comifuro tidak hanya menghindar dari apa yang tidak perlu, tetapi juga melakukan apa yang bisa mereka tawarkan untuk meningkatkan kesenangan semua orang. Venue semakin besar, akomodasi semakin baik, quality of life dari acara semakin meningkat—semua ini berdasarkan arahan demokratis dari semua orang, toh jika usaha ini dijalani oleh segelintir penggemar saja. Peningkatan-peningkatan ini hadir secara diam-diam, tanpa harga premium, ramai diminta ataupun terlewat.
Pun juga, spirit Comiket untuk ‘menutup mata sebelah’ bagi hal abu-abu, dijalankan dengan serius di tempat yang secara sosial dan legal jauh lebih berbahaya daripada Jepang. Sedikit yang akan menegur konten ‘abu-abu’ asal tidak terlampau terang-terangan atau membahayakan keselamatan orang lain. Aturan soal IP diterapkan sejauh pemilik IP memintanya, atau jika acara berada dalam bahaya legalitas, sisanya, buatlah fanwork sesukamu, toh fanwork adalah aliran darah dari fandom itu sendiri.
(Dan oleh karena itu juga, mereka yang mengkritik Comifuro tanpa memegang spirit Comiket soal kebahagiaan berkarya dan membagikan karya, bagiku, adalah pihak-pihak hipokrit yang tak perlu didengarkan).
Dari sini, agaknya semaunya tak terlalu kasat mata, akhirnya taken for granted atau tidak dianggap. Mudah bagi mereka yang tak punya pengalaman pembanding, baik itu pengalaman mengunjungi event di kala kancah fandom lokal belum matang atau pengalaman event di luar negeri, untuk menuding sederet hal soal Comifuro. Padahal, karena acara ‘lebaran’ ini tidak disokong modal, maka harus kitalah yang menyokongnya. Kita yang harus was-was kepada setiap tanda bahaya komersialisasi yang menyeluruh dan tanpa tedeng aling-aling, terhadap langkah-langkah pertama masuknya gejala overkomersialisasi dan paksaan aliran modal ke dalam fandom.
Kita sudah punya banyak contoh soal kancah yang kalah—di Amerika Serikat, tempat karya derivatif atau fanworks dipandang sebelah mata, anime convention jadi sarana untuk menjual barang-barang berkualitas medioker dengan harga melejit, karena perhitungan pasarnya masuk akal: toh orang tetap akan membeli barang medioker dengan harga tinggi. Mimpi buruk yang aku bayangkan di sana adalah kenyataan yang sudah final: acara fandom serupa Orchard Street di Singapura, dengan barrier to entry yang terlihat dan yang kasat mata. Tidak ada ruang bagi mayoritas orang, bukan hanya bagi mereka yang tidak mampu, tetapi bagi mereka yang hanya ingin berkarya! Segala perhitungan lain kalah dengan hitung-hitungan pemasaran, yang bukan lagi jadi prinsip utama tapi menjadi satu-satunya prinsip yang ada.
Sekali lagi aku tekankan: prinsip pertama modal adalah menyelimuti semua hal ke dalam modal. Maka karena Comifuro tidak disokong pemodal, ia selalu berada dalam bahaya. Kita, orang-orang yang diuntungkan dengan keberadaan CF, harus menjadi pihak yang menyalakan tanda bahaya pertama.
Tentu ini bukan berarti Comic Frontier tak punya masalahnya sendiri, atau harus dipertahankan secara buta. Hanya saja, pengunjung yang relatif lebih baru—mungkin lebih muda, mungkin mantan ‘orang biasa’—agaknya tak terlalu sadar kalau apa yang mereka dapatkan ini, meskipun bukan ‘versi event terbaik dari semua event yang ada’, tetapi ada usaha serius untuk mendorongnya ke arah sana* * * . Banyak yang bisa dikomentari: harga tiket selalu bisa dikurangi, dan suatu hari kita tak perlu lagi berurusan dengan BSD * * * *, atau agar lebih ramah lagi kepada kreator baru. Tentu.
Tetapi di sisi lain, setiap siklus beberapa bulan sekali selalu ada suara-suara miring yang melihat keramaian Comifuro, lalu mencoba untuk ‘membuatnya lebih baik’. Dan setiap kalinya kita juga menerima kalau aara-acara baru ini dikelola tidak dengan spirit yang sama, baik itu semangat yang asalnya datang dari Comiket atau ikhtiar untuk menahan diri melawan overkomersialisasi. Skala yang lebih kecil dengan harga yang sama besarnya, mismanajemen, korporatisasi, bahkan penipuan dan kekacauan...kita sudah sering mendengar kisah-kisah ini.* * * * * *
Dengan kata lain, sudah waktunya untuk menetapkan apa yang kita ketahui: Comic Frontier masih menjadi golden standard bagi setiap acara fandom di Indonesia, dengan unsur resistensi terhadap kapitalisme tahap akhir memiliki andil besar di dalamnya.* * * * * * *
Modal besar akan mencari celah untuk masuk, dan jika kita tidak waspada, kita sendiri yang akan membawa mereka masuk, seperti Kuda Trojan. Dan mitologi itu menceritakan sang patung kuda berpura-pura datang sebagai perayaan, sebagaimana modal besar yang datang berpura-pura sebagai solusi. Ketika tentara Yunani masuk di dalam Troy, kerusakan yang mereka lakukan bersifat menyeluruh dan begitu sulit untuk diperangi. Begitupun jika nanti kita membiarkan komersialisasi tumpah di dalam ruang-ruang fandom itu sendiri.
*Saking suksesnya Comifuro, acara yang dibuat untuk pembuat dan pembeli Doujinshi ini kini turut dituntut untuk mengakomodasi pihak-pihak lain.
**Selain bahwa ‘gancifuro’ dan ‘kurang komik’ adalah topik yang benar-benar tidak jelas dan tidak bermanfaat, mereka yang mendebatkan ini jelas tak punya perspektif kelas. Sulit-sulit membahas semantik untuk hal yang bisa dijelaskan secara sederhana: ganci dan stiker banyak di Comifuro karena harganya murah meriah!
***Ini adalah pembahasan untuk lain waktu, tetapi cosplaybaiting merupakan salah satu gejala terbesar dari komersialisasi fandom, dalam bentuknya yang paling sinis: orang-orang yang tak menganggap kita, kinii tiba-tiba menganggap kita karena ada uangnya. Selengkapnya:
****Toh, apa yang diejek Voltaire dari Leibniz adalah kepercayaannya soal keberadaan dunia yang paling baik. Tetapi usaha yang mengarah ke sana, seperti Candide, harus terus dicoba.
*****Aku punya kebencian yang begitu dalam terdapat BSD, dan ini merupakan topik untuk artikel lain. Tetapi mereka yang paham mekanisme kawasan lain—JIExpo Kemayoran, JCC Senayan, SMESCO—harusnya paham kenapa panitia tidak punya banyak pilihan.
******Acara-acara yang berhasil, seperti Komikal di Banjarbaru, Comecora di Samarinda dan Comipara di Yogyakarta, secara spesifik merupakan understudy dari Comic Frontier.
*******Istilahnya adalah enshittification: suatu program yang awalnya dibuat untuk membantu pengguna secara maksimal, lalu membantu pengguna secara apa-adanya, sebelum memberikan pelayanan seminim mungkin, asalkan pemegang saham menikmati profit semaksimal mungkin.